Minggu, 12 Juli 2015

Kisah Perjumpaan Steve Jobs dengan Ayah Kandungnya

Banyak sekali catatan, ilham, inspirasi setelah membaca buku autobiografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson. Buku tersebut memaparkan dengan jelas jatuh bangunnya sang pendiri Apple ini dengan rinci. Suka dan duka, masa jaya dan keterpurukan memang mewarnai kisah hidup Steve Jobs. Hingga layaklah dia sebagai seseorang yang pernah menjabat sebagai CEO salah satu perusahaan terpopuler di dunia ini menjadi semacam idola bagi fanboy Apple. Terutama semangatnya dalam merintis dan membesarkan Apple, sikap tidak pernah puas yang positif, dan tentu saja perhatiannya pada detail yang sangat luar biasa (Steve Jobs pernah berselisih hebat dengan Paul Rand, desainer grafis terkenal pencipta logo IBM hanya gara-gara tanda titik pada kartu namanya), salah satu yang menarik adalah sisi melankolis muram Steve Jobs yang selalu merasa sebagai anak yang tidak diinginkan oleh kedua orangtua kandungnya.

Steve Jobs Muda



Steve Jobs dibesarkan oleh orangtua angkat yang menyayanginya dengan sepenuh hati, dia diadopsi semenjak bayi. Kedua orangtua kandungnya memang tidak menginginkannya. Meskipun begitu, ibu kandung Steve Jobs pada saat mengurus perjanjian hak adopsi dengan orangtua angkat Steve Jobs, memberikan satu syarat penting yaitu kelak si bayi jika telah beranjak remaja harus disekolahkan ke Perguruan Tinggi. Hal yang sebenarnya cukup memberatkan kedua orangtua angkat ini, mereka hanya berasal dari kelas pekerja biasa dan bukan orang kaya, tetapi dengan yakin mereka menyanggupinya dan akan berkomitmen untuk kelak mengumpulkan uang kuliah bagi Steve Jobs. Dan begitulah kisahnya, Steve Jobs kecil acapkali mendapatkan ejekan dari temannya bahwa dia anak angkat, dan memang orangtua angkatnya sejak dini tidak pernah menutupi fakta ini. Kadang dia sampai menangis, dan tak jemu juga ayah angkatnya dengan kasih sayang membesarkan hati anak kecilnya ini. Inilah yang menjadi dasar rasa sakit yang terpendam bagi seorang Steve Jobs, perasaan merasa terbuang dan ditelantarkan oleh orangtua kandungnya meskipun tak kurang-kurangnya kasih sayang orangtua angkat Steve Jobs bagi dirinya, membuat Steve Jobs kelak dikenal sebagai seorang pemimpin perusahaan yang acapkali bertindak apa adanya dan sering berucap kasar.


Pelarian Steve Jobs pada penggunaan narkoba di masa remajanya memang tak lepas dari gaya hidup hippies yang dianutnya. Penggunaan narkoba jenis LSD pada masa itu memang hal yang wajar di kalangan anak muda yang sedang bersemangat mencari jati diri. Salah satu judul lagu The Beatles yaitu Lucy in the Sky with Diamond (judul lagu ini bisa disingkat menjadi LSD) konon terinspirasi dari narkoba jenis LSD. Entah benar atau tidaknya rumor ini, di masa itu banyak orang yang mempercayainya. Layaknya generasi pada masa itu, Steve Jobs remaja juga terinspirasi sekali dengan ajaran spiritual India, dia bahkan pernah berkelana ke India mencari guru spiritual. Mempraktekkan puasa yang ketat, menjadi fruitarian (hanya makan buah-buahan saja) salah satu dari banyak hal yang dilakukan Steve Jobs bahkan sampai dia tua sebagai bagian dari kepercayaannya akan mistik dunia Timur.

Kemajuan Apple Computer yang dirintisnya bersama sahabat masa remaja, Steve Wozniak melejitkan Steve Jobs sebagai milyarder muda dunia. Di Amerika, siapa tak kenal Steve Jobs pada saat itu, kesuksesan komputer Apple II memang fenomenal. Steve Jobs berada di puncak impian semua orang. Uang sudah bukan lagi menjadi masalah bagi dirinya. Di saat semua barang bisa dia beli, tentu timbul rasa penasaran dalam dirinya mengenai asal usulnya, tentang siapa sebenarnya orangtua kandungnya. Menyewa detektif tentu saja bukan perkara yang sulit, dan dimulailah petualangan pencarian orangtua kandung Steve Jobs oleh seorang detektif swasta.

Demi menjaga perasaan orangtua angkatnya, Steve Jobs tidak memberitahukan hal ini pada orangtua angkatnya tersebut. Semua berjalan dengan sangat rahasia mengingat posisinya sebagai public figure setingkat selebritis. Kerja detektif ini ternyata memuaskan, dia mampu menelusuri dokter yang membantu persalinan ibu kandung Steve Jobs. Saat Steve Jobs bertemu dokter ini, malang bahwa semua berkas mengenai asal usul Steve Jobs pada saat kelahirannya sudah dilalap api pada satu kebakaran di kantor dokter tersebut. Mendengar kenyataan ini, Steve Jobs cukup kecewa.

Selang berapa lama, muncul surat kepada Steve Jobs, isinya adalah surat-surat kelahiran bayi Steve Jobs beserta nama lengkap ibu kandungnya. Ya, ibu kandungnya bernama Joanne. Usut punya usut, cerita kebakaran yang diceritakan sang dokter hanya bohong belaka, semua berkas kelahiran Steve Jobs masih utuh tersimpan rapi di brankas dokter yang membantu persalinan, dan ternyata menjelang wafatnya sang dokter tersebut, dia memberikan surat wasiat, bahwa surat-surat berkas kelahiran bayi Steve Jobs yang dia simpan rapat tersebut harus diserahkan kepada Steve Jobs.

Langkah berikutnya mudah, Steve Jobs dapat menemui ibu kandungnya tanpa kesulitan, perjumpaan ini terasa spesial, akan tetapi Steve Jobs cukup kaget mendapat kabar bahwa tenryata dia memiliki adik kandung. Ibu kandung Steve Jobs adalah Joanne Simpson. Ayahnya adalah Abdulfattah Jandali, mahasiswa asal Syria. Jobs kecil diserahkan kepada pasangan Paul dan Clara Jobs untuk diadopsi. Penyebabnya, orangtua Joanne tidak setuju anaknya menikah dengan seorang Arab. Walau akhirnya, Joanne akhirnya menikah juga dengan Jandali dan mendapat momongan lagi yang diberi nama Mona. Namun, Joanne dan Jandali bercerai kala pernikahan berusia tiga tahun. Joanne lantas menikah lagi dengan pria lain. Singakt cerita, Steve Jobs pun bersiap untuk mendatangi Mona, dan bertemu untuk pertama kalinya dengan adik kandungnya tersebut.

Adik Steve Jobs, Mona, berprofesi sebagai seorang novelis. Mengetahui hal ini, Steve Jobs sangat bersemangat, bahkan dia berteriak kegirangan di kantor Apple kala itu, dan memberitahu semua karyawan bahwa dia akan bertemu adiknya, dan dengan bangga menceritakan pada semua karyawannya bahwa adiknya adalah seorang novelis. Begitupun juga dengan Mona, saat diberitahu bahwa kakak kandungnya akan menemuinya, Mona tidak diberitahu siapa kakak kandungnya tersebut. Tentu saja ini menjadi bahan candaan teman-teman Mona saat itu, di satu kesempatan saat Mona sedang berkumpul dengan teman-temannya, mereka bermain tebak-tebakan siapa sebenarnya kakak kandung Mona, Mereka menebak dengan menyebutkan beberapa nama selebritis, bahkan keadaan berubah menjadi seru saat teman-teman Mona saling berceletuk secara asal menyebutkan tokoh dan selebritis terkenal. Ada salah satu temannya yang menebak bahwa kakak Mona adalah Steve Jobs, mengingat kepopuleran dan betapa wajah Steve Jobs selalu masuk di televisi serta menjadi sampul depan majalah di kala itu. Sayangnya saat dikonfirmasi pada masa kini, diantara teman-temannya yang hadir saat itu, tidak ada yang ingat siapa si teman yang menebak dengan benar tebakan tersebut.

Steve dan Mona bertemu, dan tentu saja Mona kaget. Tidak menyangka kakak kandungnya adalah salah satu orang terkaya di Amerika. Mereka cepat menjadi akrab, layaknya dua saudara yang lama tidak bertemu. Kini misi Steve Jobs tinggal tersisa satu, yaitu mencari dimana ayah kandungnya kini berada. Ayah yang sudah menelantarkan dirinya, ibu dan adik kandungnya.

Berdasarkan rangkuman informasi yang dikumpulkan dengan sumber daya Steve Jobs yang tak terbatas, keberadaan si Ayah akhirnya terendus. Mona, yang diberi tugas untuk menemui ayah kandungnya ini. Satu hal yang diwanti-wanti oleh Steve Jobs pada Mona adalah agar jangan sampai si Ayah tahu bahwa anak laki-laki yang dia telantarkan pada waktu bayi di masa lalu itu adalah seorang Steve Jobs. Perjumpaan diatur dan segera Mona berangkat menemui Abdulfattah Jandali. Mereka bertemu di sebuah restoran, tempat dimana Abdulfattah Jandali bekerja. Mona berbicara empat mata, dan melepaskan rindu pada Ayahnya.

Dari obrolan panjang, Abdulfattah Jandali mengungkapkan penyesalannya kenapa dia baru bisa bertemu dengan Mona saat sang Ayah sudah pindah dan bekerja di restoran ini, restoran ini kurang bagus, dia berkata bahwa dulu Ayah bekerja di sebuah restoran yang sangat indah dan mewah di pinggir pantai. Coba tebak, siapa pengunjung restoran mewah di pinggir pantai tersebut? Para selebritis, para petinggi dan pimpinan-pimpinan perusahaan besar di Silicon Valley, dan apakah kau tahu bahwa Ayah pernah bertemu dan bersalaman langsung dengan Steve Jobs? Abdulfattah Jandali berbicara dengan nada bangga, kemudian keluar segala pujian setinggi langit dari mulut Abdulfattah Jandali tentang sosok Steve Jobs yang muda, kaya, tampan dan sukses memimpin salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia. Tak lupa pula dia bercerita, Steve Jobs selalu memberi uang tip yang lumayan banyak padaku, pungkas Abdulfattah Jandali. Mona tercekat, mendadak dia tidak tahu apa yang mesti dia katakan. Tergoda untuk berterus terang ataukah hanya diam. Mona memutuskan untuk tetap diam dan bertingkah wajar. Segera Mona menyambar telepon selepas dari pertemuannya dengan Abdulfattah Jandali. Steve Jobs mendengarkan penjelasan Mona dengan tenang. Ya, aku ingat pria tua dari Syria itu, kata Steve Jobs. Aku ingat pernah bersalaman dengannya, beberapa kali aku berkunjung ke restoran tersebut dan bertemu pria itu.

Akhirnya, setelah perjuangan panjang, penantian selama 27 tahun akhirnya terungkap dan terbuka siapa orangtua kandungnya. Pada akhirnya, Steve Jobs terkadang mengunjungi ibu kandungnya, hubungannya dengan Mona dan ibu kandungnya makin dekat, akan tetapi Jobs sama sekali tidak pernah mau bertemu dengan Abdulfattah Jandali, dan berusaha keras agar Abdulfattah Jandali tidak pernah tahu bahwa anak laki-lakinya adalah Steve Jobs.

Sampai meninggal, Steve Jobs tidak pernah bertemu lagi dengan Abdulfattah Jandali. Dia memang tidak ingin. Perjumpaan mereka agaknya hanyalah perjumpaan di sebuah restoran mewah tempat Abdulfattah Jandali bekerja, bukan layaknya perjumpaan dramatis antara Ayah dan Anak yang telah terpisah puluhan tahun, tetapi hanya interaksi pengunjung restoran yang seorang milyuner muda dari Apple Computer dengan seorang pria tua pegawai restoran. Agaknya, Steve Jobs sudah cukup puas dengan perjumpaan tersebut.

Artikel ini dimuat juga di Kompasiana

Gelombang Ketiga Peminum Kopi


Minum kopi sudah bukan lagi tuang air panas di gelas, seruput pelan, dan selesai. Saat ini dengan perkembangan gerai kopi yang semakin modern, minum kopi dianggap sebagai sebuah gaya hidup. Kadang seseorang tidak pernah merasa puas, sehingga mencari alternatif cara dalam melakukan seduh kopi. Inilah masa gelombang ketiga peminum kopi, kopi mulai diapresiasi seperti seni. 
Salah satu caranya membeli alat-alat seduh manual di rumah dengan alat berkelas. Merek seperti Hario atau Kalita wajib kita miliki jika ingin ”ngopi cantik” di rumah. Berinvestasi pada alat seduh seperti Hario V60 dengan harga yang tidak sampai Rp300.000 dan membeli penggiling kopi yang berkualitas baik sebenarnya bisa menghemat banyak uang ketimbang pergi ke kafe. Bahasan tentang manual brewing pada intinya memberikan setiap orang kesempatan melakukan proses seduh kopi berkualitas. Pastinya banyak bereksperimen merupakan suatu keharusan untuk menemukan variabel tepat yang mencerminkan kopi yang rasanya “Gue Banget”. Coba-coba banyak biji kopi, dan untuk memupuk rasa nasionalis, jangan lupa banyak mencoba biji kopi asli nusantara yang jenisnya banyak sekali itu.
Seduh Manual

Berdasarkan data yang penulis dapatkan, kopi merupakan minuman favorit warga Amerika Serikat. Total jumlah peminum kopi di Amerika Serikat setiap harinya adalah 100 juta orang. Rata-rata orang Amerika menghabiskan 3 cangkir kopi setiap hari, dengan jumlah persentase peminum kopi yang meminum 13 cangkir kopi atau lebih setiap minggunya berjumlah 30 juta orang. Sebanyak 34 persen warga Amerika mengunjungi coffee shop premium seperti Starbucks atau Coffee Bean. Yang lainnya mengunjungi restoran cepat saji yang menyediakan kopi lebih murah seperti Mcdonalds dan Dunkin Donats.


Di Indonesia, minum kopi di kafe juga sudah menjadi hal yang umum. Kultur kopi di Indonesia sebenarnya kuat, apalagi Indonesia juga penghasil kopi dan memasok kopi untuk dunia. Yang terjadi, masyarakat Indonesia kurang bisa mengapresiasi kopi dari negara sendiri. Hal yang penting adalah, seharusnya makin banyak konsumen di Indonesia yang bangga pada kopi Indonesia. Gerai kafe di luar negeri banyak yang menggunakan campuran kopi Sumatera pada coffee blend mereka, atau menyajikan single origin dari daerah Toraja atau Aceh, ini menandakan bahwa kopi Indonesia sebenarnya tidak kalah dalam rasa dibandingkan dengan kopi dari negara Afrika atau Amerika Selatan.

Awalnya Pizza Makanan Orang Miskin

Jaman dahulu kala, pizza dikenal sebagai makanan orang miskin di Italia, anggota kerajaan pun dilarang hukumnya untuk makan makanan ini. Bentuknya cuma roti bundar kering dan banyak dijual di pinggir jalan, terutama di kota Naples (Napoli), konon kota ini adalah kota asal pizza. 


Restoran Klasik Pizza

Margherita Pizza

Mencuatnya kabar tentang makanan orang miskin ini, sampai juga ke telinga Ratu Margherita, karena saking penasarannya, saat kunjungan ke beberapa wilayah dan Ratu mampir ke Napoli, timbullah ide unik sang Ratu, dia ingin mencicipi makanan orang miskin dan rendahan ini.

Maka dibuatlah pizza yang spesial untuk sang Ratu, karena tomat sudah dibawa masuk ke Italia, maka pizza yang awalnya cuma roti bundar diolesi dengan saos tomat yang lezat, kemudian untuk menambah kesan istimewa ditambahlah keju mozarella yang berwarna putih dan daun kemangi yang berwarna hijau. Dan, jadilah pizza yang indah, diwakili tiga warna, merah, hijau, dan putih, melambangkan warna bendera Italia dan untuk menghormati Ratu Margherita. Sampai sekarang kita masih mengenal pizza jenis ini, sangat populer, namanya pizza Margherita.

Berawal dari makanan orang kelas pinggiran, sekarang pizza bisa dibilang makanan untuk semua orang, bahkan di Indonesia diidentikkan dengan makanan orang kaya. 

Begitulah perjalanan makanan berbentuk bundar ini. Pizza saat ini bukan makanan kelas rendahan lagi, sekarang gerai-gerai pizza sudah masuk ke mall-mall mewah. Makan di restoran pizza tentu memberikan gengsi tersendiri. Saat ini, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia di perkotaan sudah akrab dengan karakter rasa pizza. Gerai pizza waralaba dari luar negeri pun sudah masuk ke pasar Indonesia. Makan pizza, bukan hal yang luar biasa lagi, kita dapat dengan mudah mendapatkannya di mall-mall dan restoran.